cerita-bubur ajaib

Dahulu kala, di Pulau Menjangan tinggallah
seorang perempuan tua dan cucunya.
Mereka tinggal di sebuah gubuk tua yang reot.
Untuk makan sehari-hari, mereka bercocok
tanam di belakang gubuk mereka. Meskipun
lahan mereka sangat sempit dan hanya
ditanami sedikit padi, tetapi itu cukup untuk
keduanya. Sedangkan untuk lauknya, sang
nenek harus pergi ke laut untuk menangkap
ikan. Setiap kali sang nenek
pergi mencari ikan, anak kecil
itu tidak diizinkan oleh sang
nenek untuk ikut bersamanya.
Ia harus tinggal di rumah
sendirian sepanjang hari dan
harus menyiapkan makanan
untuk keduanya. Tetapi suatu
hari, sang anak tak dapat
menahan diri lagi. Dia berkata
kepada perempuan tua itu,
“Kumohon, Nek, izinkan aku
pergi bersamamu. Aku akan
menangkap ikan bersama
Nenek.”
“Tidak, Cucuku,” jawabnya. ”Jangan
pergi bersamaku. Itu sangat berbahaya.
Tinggallah di rumah dan masaklah nasi untuk
kita. Ambillah sebutir saja. Itu sudah cukup.”
Kemudian ia pergi meninggalkan anak
kecil dalam kekecewaan. Anak kecil itu pun
duduk di sekitar rumah, memikirkan alasan
ia tak diperbolehkan menemani neneknya. Ia
pikir ia sudah cukup kuat dan tentunya dia
tidak takut pada ombak. Tiba- tiba ia sadar
bahwa hari sudah gelap. Ia belum memasak
nasi. Ia pun pergi ke dapur untuk menanak
nasi. “Mengapa satu butir sudah cukup? Lucu
sekali nenek berpikir seperti itu. Bagaimana
bisa? Tidak, tentu saja tidak.” Maka ia
menaruh panci di atas api. Ia pun mengambil
beberapa genggam beras. Ia mencuci beras
itu dan memasukkan ke dalam panci dan
menunggunya sampai matang. Sudah saatnya
mengangkat panci dari atas api. Ia pun
membuka tutup panci.
“Ya Tuhan!” Ia berseru,
“Apa yang terjadi?” Karena baru
saja ia membuka tutup panci
itu, bubur panas mengalir
dengan derasnya dari panci itu.
Bubur itu terus mengalir dengan
derasnya ke lantai, melewati
dapur dan kemudian melintasi
halaman.
Sambil menangis terisakisak,
anak kecil itu pergi mencari
neneknya. Ia tak mengerti
apa yang telah terjadi. Ketika ia
menemukan neneknya dan
menceritakan apa yang telah
dilakukannya, sang nenek marah bukan
kepalang. Ia mengambil sebatang kayu dan
memukul kepala anak itu sampai lebamlebam.
Anak itu menjerit keras karena
kesakitan.
Sang nenek terus memukulnya. “Dasar
pembangkang! Mengapa tak kau turuti
perintah nenekmu?” Bentaknya. Tiba–tiba
anak itu menghilang. Sang nenek kebingungan
dan mencarinya ke mana-mana. Ia yakin tadi
mengapitnya erat-erat di lengannya, tetapi
sekarang anak itu hilang. Kemudian sang
nenek mendengar suara:
“Selamat tinggal, Nenek! Engkau sebatang
kara kini. Tak ada lagi yang akan membantumu.”
Kemudian suara itu lenyap. Sejak saat
itu masyarakat Manjengan tidak pernah
memukul anak mereka atau orang lain di
kepala.
(Sumber: Buku Pintar Mendongeng Se-Nusantara, 2003)

Comments