Hand Phone Ayah

Hand Phone Ayah
Oleh: Hadi Pranoto
Siang itu, Ayah mengajak Adam ke
toko sepatu. Sepatu Adam memang sudah
sempit dan tak nyaman lagi untuk dipakai.
Namun karena ayah Adam baru punya uang
lebih, maka baru hari ini permintaannya
dikabulkan.
Adam dan ayahnya naik bus patas AC
jurusan Blok M. Ongkosnya lumayan
mahal, pikir Adam. Dan karena hari itu hari
Minggu, banyak bangku kosong yang
tersedia.
"Di sini saja, Yah," kata Adam sambil
menarik lengan ayahnya. Mereka duduk di
barisan ketiga dari bangku sopir. Sebelum
duduk, ayah Adam memindahkan hand
phone yang ada di sakunya ke sarung di
pinggangnya supaya tidak mengganggu
duduknya.
"Setiap hari Ayah naik bus ini, ya, ke
kantor?" tanya Adam.
"Tiap hari? Bisa-bisa kamu tidak pakai
sepatu ke sekolah," jawab Ayah meledek.
"Tarifnya kan, mahal. Lebih baik ayah
naik bus biasa dan sisanya bisa ditabung
buat keperluan sekolahmu," jawab Ayah.
Adam terdiam mendengar jawaban
ayahnya. Dalam hati ia terharu sekaligus
bangga. Karena Ayah rela setiap hari,
berbulan-bulan berdesak-desakan,
kepanasan, dan membanting tulang demi
kepentingan keluarganya. Sementara
Adam sendiri, baru sebulan pakai sepatu
kesempitan sudah mengeluh setiap hari.
Bus melaju kencang dan keluar dari
tol Komdak. Di halte Komdak, banyak
penumpang yang turun dan banyak pula
yang naik. Tiba-tiba naik juga 3 orang pria.
Salah satunya duduk di sisi Ayah.
"Permisi, Pak," kata pria itu ramah.
"Silakan!" jawab Ayah sambil menggeser
tempat duduknya.
Pria yang berpakaian rapi itu pun duduk
di samping Ayah. Sementara kedua
temannya duduk di bangku di sebelahnya.
Adam mulai curiga melihat gerak-gerik
mereka. Apalagi orang yang di sebelah
Ayah selalu melirik ke arah hand phone
Ayah. Dan tiba-tiba orang itu pindah tempat
ke depan bangku teman-temannya. Ayah
Adam kemudian bergeser ke posisinya
semula, sehingga tempat duduk mereka
kembali lega.
Namun pada waktu bergeser ayah
Adam merasa ada sesuatu yang ganjil. Ia
meraba pinggangnya. Betapa terkejutnya
ia ketika hand phone-nya sudah tidak
terselip di pinggangnnya.
"Wah! Hand phone ayah hilang, Dam!"
seru Ayah sambil bangkit berdiri. Ia lalu
memeriksa jok kursi, kalau-kalau hand
phone-nya terjatuh. Adam juga sibuk
mencari, bahkan memeriksa kolong-kolong
bangku.
"Pasti ada yang mencuri," ujar Ayah.
Penumpang lain menoleh ke arah
mereka, mendengar ribut-ribut di dalam
bus.
"Ada apa, Pak?" tanya kondektur bus.
"Hand phone saya hilang. Tolong
berhenti di halte itu," kata ayah Adam
sambil menunjuk halte di perempatan jalan,
Kebetulan di halte itu ada polisi yang
sedang mengatur lalu lintas.
Lalu Ayah maju ke depan, "Mohon
jangan ada yang turun dulu. Yang turun
berarti itu pencurinya," kata Ayah dengan
suara lantang.
"Oh, tidak bisa begitu, dong! Dari
mana Bapak tahu kalau yang mengambil
ada di bus?" protes orang yang tadi duduk
di samping Ayah. Teman-temannya
mengiyakan.
"Benar! Mana buktinya? Pokoknya
kami mau turun di sini," kata teman orang
itu lagi dengan suara keras dan agak
mengancam.
"Tidak bisa! Pokoknya yang turun
akan saya laporkan ke polisi," tantang Ayah
berani. Akhirnya ketiga orang itu diam. Kini
giliran ayah Adam yang bingung.
Bagaiman cara mencari hand phone-nya?
Ini seperti mencari jarum dalam tumpukan
jerami. Tiba-tiba Adam mendapat ide. Ia
membisiki ayahnya.
"Eemm ... " Ayah mengangguk
mengerti. "Maaf, Pak. Bisa pinjam hand
phone-nya sebentar?" kata Ayah pada
seorang bapak yang kelihatan membawa
hand phone di saku kemejanya.
"Silakan ... " jawab bapak itu.
Ayah lalu memencet tombol-tombol
nomor hand phone-nya. Dan tiba-tiba
terdengar suara benda dijatuhkan.
"Bruuuuuk!" Setelah Ayah selesai
memanggil nomor hand phone-nya,
terdengarlah bunyi hand phone ayah.
"Itu dia bunyi hand phone ayah, Yah!"
teriak Adam girang.
Ayah Adam, dibantu kondektur bus itu,
lalu menyusuri asal suara itu. Ternyata hand
phone itu ada di kolong bangku yang kosong.
Buru-buru ayah Adam memungutnya.
"Alhamdulillah ... rupanya hand phone
ini masih rezekiku," kata Ayah bersyukur.
Hanya ada sedikit goresan di hand phone
itu.
Bus kembali berjalan. Ayah dan Adam
kembali duduk, namun kali ini tepat di
belakang sopir. Baru beberapa menit bus
berjalan, "Kiri! Kiri ..., Bang!" kata pria yang
tadi duduk di sebelah Adam. Bus berhenti.
Ketiga orang itu buru-buru turun dari pintu
belakang.
"Aman!" kata kondektur bus itu.
"Lo, kok aman. Memangnya kenapa,
Pak?" tanya Ayah heran.
"Tiga orang itu sudah sering naik turun
bus ini. Setiap kali mereka naik pasti ada
penumpang yang kehilangan barang.
Dompet atau hand phone," ujar kondektur
bus itu.
"Padahal penampilan mereka rapi,
seperti orang berduit," sahut bapak yang
tadi meminjamkan hand phone-nya.
"Yah, melihat orang jangan dari
penampilan luarnya," sambung ibu di
sebelahnya.
"O ... ya, terima kasih, Pak, atas
pinjaman hand phone-nya," kata Ayah
sambil menjabat tangan bapak itu.
"Ah, sesama penumpang kita memang
harus saling tolong-menolong," jawab
Bapak itu. "Tapi sebenarnya yang paling
berjasa, ya adik itu," kata Bapak itu lagi
sambil menunjuk ke Adam.
"Iya, nih! Rupanya adik ini berbakat jadi
detektif," sambung kondektur, yang tahu ide
untuk mencari hand phone itu berasal dari
Adam.
"Oh, iya. Terima kasih, ya, Dam," kata
ayah Adam sambil menepuk pundak Adam
yang tersipu-sipu. Namun Adam lalu buruburu
mencolek lengan ayahnya.
"Yah, beli sepatu sekalian tas, ya. Tas
Adam juga sudah sobek," bisik Adam
setengah menggoda ayahnya.
Ayah tersenyum geli, "uu, mencari
kesempatan dalam kesempitan!"
(Sumber: Tamasya ke Masa Silam, 2006 dengan pengubahan)

Comments