cerita-lilin ajaib

Dahulu di negeri Kincir Angin (Belanda),
ada seorang pengelana tersesat di
hutan lebat. Ia kebingungan mencari jalan.
Tiba-tiba ia melihat sebuah gubuk buruk. Ia
mendekatinya dan mengetuk pintu. Ia
dipersilakan masuk. Di dalamnya tinggal
seorang nenek. Ia sedang menangis.
“Mengapa nenek menangis?” tanya sang
pengelana, terheran-heran. “Ada jin jahat. Ia
mengambil lilinku,” sahut sang nenek tersedu-
sedu.
“Cuma lilin?”
“Ya, lilin. Tapi bukan sembarang lilin.
Itu lilin ajaib. Jika aku nyalakan lilin itu,
segala yang aku minta akan terkabul. Ini
berbahaya. Sebab jin itu akan bisa minta apa
saja. Bagaimana kalau dia minta yang bukanbukan?”
Pengelana itu berpikir sejenak. Apa yang
ia rencanakan? Lihat saja nanti. Ia menanyakan
tempat tinggal jin jahat. “Ia tinggal tak
jauh dari sini,” ujar nenek itu. “Ikuti lorong
depan rumah ini. Terus saja, nanti akan
sampai ke sebuah puri. Letaknya di kiri jalan.”
Si pengelana mengikuti petunjuk itu.
Dengan gampang ia menemukan puri itu.
Pintunya terbuka lebar. Sepi sekali. Tak ada
penjaga. Ia masuk. Puri itu banyak sekali
kamarnya. Semua kamar sudah ia masuki.
Tapi ia tak menjumpai siapa-siapa. Puri itu
seperti kosong. Ia sampai ke sebuah ruangan
yang luas tetapi gelap. Pintunya kecil. Apakah
ini kamar jin jahat? Ternyata betul. Sekalipun
tampak ganas, jin itu sudah tua dan berpakaian
compang-camping. Ia tampak gusar
sekali. Sebab pengelana itu nyelonong masuk
ke kamarnya begitu saja.
“Hei, tunggu! Siapa kamu, ini?” tegur
sang jin itu.
Si pengembara diam membisu. Matanya
jelalatan ke sana kemari. Secepat kilat ia
menyambar lilin yang terletak di atas meja.
“Ini dia!” sahut sang pengelana. Sambil
berkata demikian, ia buru-buru lari meninggalkan
ruangan itu. Ia lari cepat sekali meninggalkan
puri itu. Segalanya berlangsung
begitu cepat. Jin jahat kaget. Ia terbengongbengong.
Ia ingin mengejar orang itu. Tapi
apa daya! Ia tak kuat lari. Jin itu sedang sakit
pinggang.
“Hei, kembalikan lilin itu!” Jin jahat
hanya bisa memaki-maki.
Pengelana berhasil mengambil lilin. Ia
ingat nenek tua, tapi ia memang tak bermaksud
mengembalikan lilin itu. Ia ingin memilikinya
sendiri.
Saat sampai di tengah hutan, ia menoleh
ke sekeliling. Setelah dilihatnya tak ada
orang, ia menyalakan lilin itu. “Aku ingin
pergi jauh dari sini. Sejauh mungkin!”
pikirnya.
Dan apa yang terjadi? Tiba-tiba muncul
empat jin. Keempatnya ramai-ramai membopong
si pengelana. Ia dibawa terbang secepat
kilat. Dalam waktu beberapa kejap saja,
mereka sudah sampai ke sebuah negeri yang
amat jauh dan asing.
Empat jin itu dengan hati-hati meletakkan
tubuh sang pengembara ke darat. Ia berada
di seberang istana. Di istana sedang ada
pesta.
Para bangsawan dan ksatria dari seluruh
negeri diundang. Semua bergembira.
Pengelana memberanikan diri menghadap
raja. Raja negeri itu cukup ramah.
“Apa yang kau inginkan?”
“Hamba ingin berjualan, Tuanku.”
“Berjualan apa? Kelihatannya kau tidak
membawa apa-apa?” tanya raja.
“Hamba membawa aneka barang niaga.
Tuanku nanti boleh melihatnya di taman
istana,” kata pengelana.
“Baik, siapkan saja.” Kata raja. “Akan
kusuruh para tamuku untuk membeli barangbarangmu.”
Begitu raja masuk ke dalam istana, si
pengembara segera ke taman, menyalakan
lilin, minta apa yang diinginkannya. Tibatiba
muncullah beberapa ekor merpati besar.
Merpati pertama membawa papan, merpati
kedua membawa tenda, yang lain membawa
tali temali. Ada juga yang membawa kayu,
mereka bekerja dengan gesit. Dalam sekejap
saja di taman itu sudah berdiri tenda tempat
berjualan yang indah.
Namun tenda itu masih kosong, si
pengelana menyalakan lilin lagi. Tiba-tiba
tenda itu penuh dengan barang-barang niaga
yang cukup lengkap. Ada gula, kue, buahbuahan,
telur ayam, batu permata, perhiasan
emas, perak, dan intan. Ketika para tamu
datang, mereka segera berebutan untuk
membeli. Menjelang tengah hari barangbarang
itu sudah hampir ludes terjual.
Akhirnya datanglah putri raja. Ia membeli
beberapa pasang permata. Waktu putri
mau membayar, pengembara bertanya apakah
ia mau jadi istrinya. Putri itu marah sekali.
Ia langsung pergi, lari dan meninggalkan
permata itu.
“Celaka!” pikir si pengembara. Wajahnya
jadi pucat. “Raja bisa murka. Aku harus
buru-buru pergi dari tempat ini.”
Ia menyalakan lilinnya. Dalam hati ia
mengajukan permintaannya. Maka tenda dan
segala isinya itu terbakar dan segera jadi abu.
Ia sendiri tiba-tiba sudah berada di hutan
pinggir kota.
Hari sudah malam. Ia menyalakan
lilinnya lagi. Jin-jin pun muncul. Ia minta
dibuatkan sebuah istana kaca. Istana itu harus
selesai malam itu juga. Jin itu segera memberi
komando. Tiba-tiba muncul jin-jin kecil yang
jumlahnya sangat banyak. Tak mengherankan
jika sebelum kokok ayam jantan pertama,
istana kaca itu sudah selesai.
Jin-jin itu lalu lenyap. Keesokan harinya,
seluruh isi kota mengagumi keindahan
istana itu.
“Siapa yang punya puri semegah ini?”
tanya raja.
Salah seorang menjawab bahwa itu milik
saudagar yang kemarin berjualan di taman
istana. Sang putri jadi menyesal. Mengapa ia
kemarin marah sehingga saudagar itu pergi.
“Jangan kuatir putriku” kata raja.”Nanti
kita berkunjung ke sana. Katakan padanya,
kau sekarang menerima lamarannya itu.”
Maka mereka pun mengunjungi puri itu. Sang
pengelana mengucapkan terima kasih atas
kedatangan Baginda. Ia berkata, “Yang Mulia,
mohon beribu ampun. Apa yang hamba
katakan pada Tuan Putri kemarin itu hanya
bercanda.”
“Ah, tidak apa-apa,” sahut raja. “Putriku
itu ... sebenarnya suka kepadamu.”
“Kelak aku bisa jadi raja,” pikir sang
pengembara dengan berbinar-binar.
Tuan putri terheran-heran. Ia menanyakan
bagaimana sang pengelana bisa mempunyai
puri dan harta benda yang berlimpah
ruah macam itu. Karena mabuk kepayang,
sang pengelana menceritakan rahasianya.
Ia berkisah tentang lilin ajaibnya. Ia juga
memberi tahu di mana lilin itu ia sembunyikan.
“Orang bodoh,” pikir sang putri. Sebab
di dalam hati, sang putri tidak sudi kawin
dengan sang pengelana. Ia pura-pura tidak
memerhatikan rahasia itu. Tapi dalam hati,
ia tak mau kawin dengan seseorang yang
bersekutu dengan jin.
Malam harinya ia menyuruh seorang
abdinya untuk mencuri lilin itu. Begitu lilin
itu ada di tangannya, ia minta agar sang
pengelana lenyap dari negerinya.
Esok harinya sang pengelana terbangun.
Ia bingung menemukan dirinya berada di
tengah hutan lebat. Purinya yang indah
lenyap. Uang dan segala harta bendanya
lenyap. Ia mendapati dirinya di tengah hutan
lebat di sebuah negeri yang tidak ia kenal. Ia
kembali seperti semula, menjadi seorang
pengelana yang melarat.
(Sumber: Dongeng dari Belanda dalam
Kumpulan Dongeng dari Mancanegara, 2003)

Comments