Pengorbanan seorang putri


Dahulu ada sepasang suami istri yang dikenal dengan sebutan Pan Tuwung Kuning dan Men Tuwung Kuning. Pan adalah sebutan bagi seorang bapak dan men adalah sebutan bagi seorang ibu. Karena
mereka hanya mempunyai satu anak perempuan bernama Tuwung Kuning, maka suami istri itu disebut
Pan Tuwung Kuning dan Men Tuwung Kuning.

Pan Tuwung Kuning mempunyai kegemaran mengadu jago. Jumlah ayam aduannya banyak sekali, sehingga memaksa istrinya untuk mengurus binatang peliharaan suaminya itu. Setiap siang suaminya hanya mengadu jago dan setiap kali selalu kalah. Hal ini membuat keadaan rumah tangga mereka menjadi kacau. Suasana menjadi tidak tenteram akibat pertikaian suami istri.

Keadaan ini sukar diperbaiki, apalagi anak yang mereka idam-idamkan tidak kunjung datang.

Pada suatu hari, Pan Tuwung berkata kepada istrinya, “Istriku, jika engkau melahirkan anak kelak dan ternyata anak kita lakilaki pula, ia akan kujadikan penggantiku. Ia akan meneruskan pekerjaanku mengadu ayam. Akan tetapi, jika anak kita itu perempuan, ia akan kusembelih dan kujadikan makanan ayam jagoku yang tersayang.”

Habis berkata demikian, hamillah istrinya. Keadaan yang seharusnya mendatangkan kegembiraan ini, justru menyebabkan istrinya menjadi sangat kuatir dan was-was. Ia takut bahwa anak yang akan dilahirkannya seorang anak perempuan.

Setiap hari selama mengandung, Men Tuwung Kuning terus berdoa kepada para Dewata agar anak yang dilahirkannya kelak adalah seorang anak laki-laki.

Namun, rupanya kehendak Dewata lain. Setelah tiba waktunya, Men Tuwung Kuning melahirkan bayi perempuan yang manis.
Kebetulan Pan Tuwung Kuning sedang bepergian jauh. Orang yang mendampingi Men Tuwung Kuning pada waktu itu hanyalah ibunya.

“Bagaimana kalau bayi ini disembunyikan saja di rumah saya?” kata ibu Men Tuwung Kuning. “Dengan cara itu, Pan Tuwung Kuning tidak melihat anaknya ini.”

“Saya setuju saja, Bu. Bawalah dan sembunyikan dia di rumah Ibu,” jawab Men Tuwung Kuning.

Bayi itu dibawa pergi ke rumah ibu Men Tuwung Kuning, sedangkan yang diberikan kepada ayam jago kesayangan suaminya hanyalah ari-arinya.

Malam hari suaminya baru pulang. “Bagaimana? Anak kita laki-laki atau perempuan?”

“Perempuan,” jawab istrinya.

“Di mana dia sekarang?“ sambung suaminya.

“Sudah kusembelih dan kuberikan kepada ayam jagomu.”

Mendengar jawaban ini, puaslah hati suaminya. Namun, malam harinya ayam jago kesayangannya berkokok, “Plak plak! Kukuruyuk ...! Men Tuwung Kuning punya anak perempuan, tetapi aku hanya diberi makan ari-arinya saja.”

Ayam jago itu berkokok berulang-ulang. Mendengar itu, Pan Tuwung Kuning menjadi sangat marah dan ingin membunuh istrinya. Akan tetapi sebelum niatnya dilaksanakan, ia kembali mendengar kokok ayam jagonya.

“Plak plak! Kukuruyuk ...! Anak Men Tuwung Kuning disembunyikan di rumah neneknya.”

Mendengar itu, Pan Tuwung Kuning benar-benar naik darah. Ia lalu memerintahkan istrinya agar membawa kembali putrinya dari rumah neneknya.

“Jika tidak engkau lakukan,” ancamnya kepada istrinya, “sebagai gantinya engkaulah yang harus disembelih untuk makanan ayam jago kesayanganku.”

Keesokan harinya Men Tuwung Kuning pergi ke rumah ibunya. Setiba di sana tercenganglah dia, karena didapati putrinya secara gaib telah menjadi seorang anak gadis remaja yang cantik dan pandai menenun kain. Ketika Tuwung Kuning mengetahui ibunya datang menjemputnya, ia berkata kepada ibunya, “Ibu, tunggu dulu sampai lusa, karena aku sedang menenun kain untuk pembungkus jenazahku nanti!”

Dengan perasaan yang luluh, Men Tuwung Kuning pulang dengan tangan hampa. Setibanya di rumah, ia segera dimakimaki suaminya yang sudah gelap mata.

Dua hari kemudian, dengan berat hati terpaksa Men Tuwung Kuning kembali menjemput putrinya. Di depan putrinya, Men Tuwung Kuning berkata, “Wahai, putriku Tuwung Kuning, cepat-cepatlah engkau
menenun kain. Ayahmu sudah selesai mengasah pedang dan mengasah parang untuk mencabut nyawamu.”

Tuwung Kuning menyambutnya dengan suara lembut, “Ibuku sayang, tunggulah dua hari lagi agar aku dapat menyelesaikan sehelai selendang untuk bekal matiku.”

Dengan perasaan sedih Men Tuwung Kuning pulanglah. Setibanya di rumah, dia langsung dimaki-maki oleh suaminya, sebab tidak berhasil membawa putrinya pulang.

Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, suaminya berangkat sendiri ke rumah mertuanya. Ia membawa sebilah pedang yang telah diasah tajam-tajam. Setiba di rumah itu, ia menjadi sangat tercegang karena melihat putrinya amat cantik, lagi pula pandai menenun kain.

“Ayahku yang tercinta,” sambut Tuwung Kuning melihat kedatangan ayahnya, “Kini Ananda telah siap memenuhi keinginan Ayah, tetapi dengan syarat sebagai berikut: Ayah harus membawa Ananda ke hutan. Setelah bertemu dengan pohon yang terbesar, di situlah Ayah boleh mencabut nyawa Ananda.”

Sebelum berangkat, Tuwung Kuning mengenakan pakaian baru hasil tenunannya. “Sekarang, berhentilah. Ini pohon besar itu,” demikian perintah ayahnya. Akan tetapi, putrinya menolak. Katanya, “Ayah, Ananda tidak mau mati di sini. Pohon ini bukan yang terbesar di hutan ini.”

Ayahnya menerima penolakan putrinya. Kini mereka pun meneruskan perjalanan mereka sampai mereka menemukan batang pohon yang terbesar di dalam hutan itu.

“Nah, Ayah, saya sekarang sudah siap untuk mati,” kata Tuwung Kuning. “Tolong ambilkan batang pisang untuk bantal Ananda.”

Permintaan putrinya itu segera dilaksanakan ayahnya. Setelah berbaring dengan berbantalkan batang pisang, Tuwung Kuning berkata, “Ayah, sekarang sudah dapat dimulai.”

Dengan mata yang berapi-api, dihunus pedangnya untuk mulai menyembelih putrinya. Tetapi, tiba-tiba tubuh putrinya lenyap dari pandangannya dan yang terkena pedangnya hanyalah batang pisang itu.

Melihat kenyataan ini, segera timbullah penyesalannya dan ia pun menangis tersedusedu. Sambil membawa potongan-potongan batang pisang, ia pulang ke rumahnya.

Sesampainya di rumah, ia bertobat kepada istri dan mertuanya. Potongan batang pisang diberikan kepada ayamnya yang tersayang, tetapi ayamnya tidak mau makan.

Seketika itu, timbullah kekecewaan terhadap semua ayam jago aduannya. Semua ayam kebanggaannya dibuang. Sejak itu, ia berjanji tidak akan berjudi dan mengadu ayam lagi. Jelas, judi hanya  menyengsarakan hidupnya hingga anak kandung sendiri menjadi korban.
(Sumber: 21 Cerita Moral dari Negeri Dongeng, 2005)

Comments